(Dikutip dari refleksi tahunan Van Lith pertama saya 2016 lalu.)
Semakin cinta ketika dilepaskan, begitulah hukumnya dengan rumah yang semakin menjadi rumah ketika ditinggalkan.
Iya, itu semua kami alami di sini, di tempat penginapan kami yang entah berantah ini. Berawal dari sebuah pilihan yang membuat kami harus terpaksa meninggalkan apa yang kami sebut ‘rumah’.
‘Rumah’ bagi kami bukanlah suatu bangunan atau karya arsitektur nan megah, namun bagi kami ‘rumah’ adalah suatu tempat di mana kami bisa bebas mencurahkan semua kesenangan, kesedihan, dan segala emosi kami. Bebas? Iya, benar.
Berarti di ‘tempat penginapan’ baru itu kami tidak bebas? Hmm.. bisa dibilang, iya.
Tetapi terkadang kebebasan itu bukanlah segalanya, tepatnya tidak segalanya bisa didapatkan dengan kebebasan. Terkadang ada beberapa hal yang harus diperjuangkan juga yang tidak bisa didapatkan dengan kebebasan. Hal itulah yang kami gali bersama di sini, di tempat penginapan kami ini!
Sudah dengan julukan-julukan aneh? Haha.. Iya itu secara kasarannya. Perkenalin, saya Julius Daniel Sarwono, salah satu orang yang masih berpartisipasi di angkatan dua lima. Lebih seringnya saya dipanggil dengan singkatan nama saya yaitu Judan.
Maksud dari rumah yang saya sebut ya memang sebuah rumah yang ada di kota asal saya, yang saya tinggalin, dan semua kenangan-kenangan, pengalaman, orang-orang yang berharga bagi saya yang tidak hanya dalam sebuah wujud bangunan. Sejak 25 Juli 2015, saya memutuskan untuk mengubah hidup. Hah?
Mengubah hidup? Ya, saya menjebloskan diri saya sendiri ke SMA PL Van Lith berasrama, di sebuah sekolah kecil di Magelang.
Ini sudah hampir tahun pertama saya, tinggal dengan orang yang sama, yang ketika saya bangun dan membuka mata adalah pemandangan yang sangat amat membosankan, yaitu para warga asrama putra yang berlarian kesana kemari, disambut dengan pemandangan yang lebih mendingan saat jam sekolah karena adanya warga asrama putri.
Begitulah alurnya, mengulang dan mengulang, membosankan bukan? Tapi bagaimanapun juga mereka adalah angkatan saya, keluarga saya, harta yang sekarang menjadi paling berharga buat saya, karena tanpa mereka belum tentu saya bertahan sampai sekarang.
Dalam kurun waktu setahun, sudah banyak rekor baru dalam hidup saya yang saya pecahin. Mulai dari dimarah-marahin sambil konsekuensi ketika OASE, didatengin penunggu, homesick rame-rame, pindah tempat tidur (homestay), ‘jalan-jalan’ bareng sejauh kurang lebih 40 km untuk mendapat benda kecil merah yang harus menjadi tambahan atribut tiap harinya (napak tilas), ngalamin barang hilang, kecurian uang, tidur jejel-jejelan dan masih banyak lagi yang ga bisa saya ceritain di sini.
Yang pasti saya syukurin semuanya, apa yang udah terjadi, yah namanya udah terlanjur mau gimana lagi, haha.. Tapi ini belum semuanya dari perjalanan saya di Van Lith, ya, ini baru satu tahun, sepertiga dari seluruh perjalanan saya! Dan berita buruknya saya masih harus lanjut hidup di sini. Hidup saya belum berakhir, ‘perjuangan’ yang tadi saya bilang belum berakhir, tepatnya ini baru awal dari seluruh perjuangan saya di sini, di SMA PL Van Lith Muntilan, di angkatan dua lima, di kehidupan kedua saya.